Kode etik jurnalistik
Kode Etik Jurnalistik
adalah himpunan etika profesi kewartawanan. Wartawan selain dibatasi oleh
ketentuan hukum, seperti Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999, juga harus
berpegang kepada kode etik jurnalistik. Tujuannya adalah agar wartawan
bertanggung jawab dalam menjalankan profesinya, yaitu mencari dan menyajikan informasi.
Ditinjau dari segi bahasa, kode etik berasal dari dua bahasa, yaitu “kode”
berasal dari bahasa Inggris “code” yang berarti sandi, pengertian dasarnya
dalah ketetuan atau petunjuk yang sistematis.
Sedangkan
“etika” berasal dari bahasa Yunani “ethos” yang berarti watak atau moral. Dari
pengertian itu, kemudian dewasa ini kode etik secara sederhana dapat diartikan
sebagai himpunan atau kumpulan etika.
Di Indonesia terdapat banyak Kode Etik Jurnalistik.
Hal tersebut dipengaruhi oleh banyaknya organisasi
wartawan di Indonesia, untuk itu kode etik juga berbagai macam, antara lain
Kode Etik Jurnalistik Persatuan Wartawan Indonesia (KEJ-PWI), Kode Etik
Wartawan Indonesia (KEWI), Kode Etik Jurnalistik Aliansi Jurnalis Independen
(KEJ-AJI), Kode Etik Juernalis Televisi Indonesia, dan lainnya
Sejarah Kode Etik Jurnalistik di Indonesia
Sejarah perkembangan Kode Etik Jurnalistik di Indonesia tidak dapat
dilepaskan dari sejarah perkembangan pers di Indonesia. Jika diurutkan, maka
sejarah pembentukan, pelaksanaan, dan pengawasan Kode Etik Jurnalistik di
Indonesia terbagi dalam lima periode. Berikut kelima periode tersebut:
1.
Periode Tanpa Kode Etik Jurnalistik
Periode ini terjadi ketika Indonesia baru lahir sebagai bangsa yang merdeka
tanggal 17 Agustus 1945. Meski baru merdeka, di Indonesia telah lahir beberapa
penerbitan pers baru.
Berhubung masih baru,
pers pada saat itu masih bergulat dengan persoalan bagaimana dapat menerbitkan
atau memberikan informasi kepada masyarakat di era kemerdekaan, maka belum
terpikir soal pembuatan Kode Etik Jurnalistik. Akibatnya, pada periode ini pers
berjalan tanpa kode etik.
2.
Periode Kode Etik Jurnalistik PWI tahap 1
Pada tahun 1946, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dibentuk di Solo, tapi
ketika organisasi ini lahir pun belum memiliki kode etik. Saat itu baru ada
semacam konvensi yang ditungakan dalam satu kalimat, inti kalimat tersebut
adalah PWI mengutamakan prinsip kebangsaan. Setahun kemudian, pada 1947,
lahirlah Kode Etik
PWI yang pertama.
3.
Periode Dualisme Kode Etik Jurnalistik PWI dan Non PWI
Setelah PWI lahir, kemudian muncul berbagai organisasi wartawan lainnya.
Walaupun dijadikan sebagai pedoman etik oleh organisasi lain, Kode Etik
Jurnalistik PWI hanya berlaku bagi anggota PWI
sendiri, padahal organisai wartawan lain juga
memerlukan Kode Etik Jurnalistik. Berdasarkan pemikiran itulah Dewan Pers
membuat dan mengeluarkan pula Kode Etik Jurnalistik.Waktu itu Dewan Pers
membentuk sebuah panitia yang terdiri dari tujuh orang, yaitu Mochtar Lubis, Nurhadi
Kartaatmadja, H.G Rorimpandey , Soendoro, Wonohito, L.E Manuhua dan A. Aziz.Setelah
selesai, Kode Etik Jurnalistik tersebut ditandatangani oleh Ketua dan
Sekretaris Dewan Pers masing-masing Boediarjo dan T. Sjahril, dan disahkan pada
30 September1968.Dengan demikian, waktu itu terjadi dualism Kode Etik
Jurnalistik. Kode Etik Jurnalistik PWI berlaku untuk wartawan yang menjadi
anggota PWI,
sedangkan Kode Etik
Jurnalistik Dewan Pers berlaku untuk non PWI.
4.
Periode Kode Etik Jurnalistik PWI tahap 2
Pada tahun 1969, keluar peraturan pemerintah mengenai wartawan.
Menurut pasal 4 Peraturan Menteri PeneranganNo.02/
Pers/ MENPEN/ 1969 mengenai wartawan, ditegaskan, wartawan Indonesia diwajibkan
menjadi anggota organisasi wartawan Indonesia yang telah disahkan pemerintah. Namun,
waktu itu belum ada organisasi wartawan yang disahkan oleh pemerintah. Baru
pada tanggal 20 Mei 1975 pemerintah mengesahkan PWI sebagai satu-satunya organisasi
wartawan Indonesia
Sebagai konsekuensi dari pengukuhan PWI tersebut,
maka secara otomatis Kode Etik Jurnalistik yang berlaku bagi seluruh wartawan Indonesia
adalah milik PWI.
5.
Periode Banyak Kode Etik Jurnalistik
Seiring dengan tumbangnya rezim Orde Baru, dan berganti dengan era Reformasi,
paradigma dan tatanan dunia pers pun ikut berubah. Pada tahun 1999, lahir
Undang-Undang No 40 tahun 1999 tentang Pers yaitu Pasal 7 ayat 1, Undang-Undang
ini membebaskan wartawan dalam memilih organisasinya. Dengan Undang-Undang ini,
munculah berbagai organisasi wartawan baru. Akibatnya, dengan berlakunya
ketentuan ini maka Kode Etik Jurnalistik pun menjadi banyak. Pada tanggal 6
Agustus 1999, sebanyak 25 organisasi wartawan di Bandung melahirkan Kode Etik
Wartawan Indonesia (KEWI), yang disahkan Dewan Pers pada 20 Juni 2000.Kemudian
pada 14 Maret 2006, sebanyak 29 organisasi pers membuat Kode Etik Jurnalistik
baru, yang disahkan pada 24 Maret 2006.
Fungsi
a. Melindungi keberadaan seseorang profesional dalam berkiprah di bidangnya;
b. Melindungi masyarakat dari malpraktek oleh praktisi yang kurang
profesional;
c. Mendorong persaingan sehat antarpraktisi;
d. Mencegah kecurangan antar rekan profesi;
e. Mencegah manipulasi informasi oleh narasumber
Asas Kode Etik Jurnalistik
Kode Etik Jurnalistik yang lahir pada 14 Maret 2006, oleh gabungan organisasi
pers dan ditetapkan sebagai Kode Etik Jurnalistik baru yang berlaku secara
nasional melalui keputusan Dewan Pers No 03/ SK-DP/ III/2006 tanggal 24 Maret
2006, misalnya, sedikitnya mengandung empat asas, yaitu:
1.
Asas Demokratis
Demokratis berarti berita harus disiarkan secara berimbang dan independen,
selain itu, Pers wajib melayani hak jawab dan hak koreksi, dan pers harus
mengutamakan kepentingan publik
Asas demokratis ini juga tercermin dari pasal 11 yang mengharuskan,
Wartawan
Indoensia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proposional. Sebab,
dengan adanya hak jawab dan hak koreksi ini, pers tidak boleh menzalimi pihak
manapun. Semua pihak yang terlibat harus diberikan kesempatan untuk menyatakan
pandangan dan pendapatnya, tentu secara proposional.
2.
Asas Profesionalitas
Secara sederhana, pengertian asas ini adalah wartawan Indonesia harus menguasai
profesinya, baik dari segi teknis maupun filosofinya.Misalnya Pers harus membuat,
menyiarkan, dan menghasilkan berita yang akurat dan faktual. Dengan demikian, wartawan
indonesia terampil secara teknis, bersikap sesuai norma yang berlaku, dan paham
terhadap nilai-nilai filosofi profesinya.
Hal lain yang ditekankan kepada wartawan dan pers dalam asas ini adalah
harus menunjukkan identitas kepada narasumber, dilarang melakukan plagiat,
tidak mencampurkan fakta dan opini, menguji informasi yang didapat, menghargai
ketentuan embargo, informasi latar belakang , dan off the record, serta pers
harus segera mencabut, meralat dan memperbaiki berita yang tidak akurat dengan
permohonan maaf.
3.
Asas Moralitas
Sebagai sebuah lembaga, media massa atau pers dapat memberikan dampak sosial
yang sangat luas terhadap tata nilai, kehidupan, dan penghidupan masyarakat
luas yang mengandalkan kepercayaan
Kode
Etik Jurnalistik menyadari pentingnya sebuah moral dalam menjalankan kegiatan
profesi wartawan.
Untuk itu, wartawan yang
tidak dilandasi oleh moralitas tinggi, secara langsung sudah melanggar asas
Kode Etik Jurnalistik. Hal-hal yang berkaitan dengan asas moralitas antara lain
Wartawan tidak menerima suap, Wartawan tidak menyalahgunakan profesi, tidak
merendahkan orang miskin dan orang cacat (Jiwa maupun fisik), tidak menulis dan
menyiarkan berita berdasarkan diskriminasi SARA dan gender, tidak menyebut
identitas korban kesusilaan, tidak menyebut identitas korban dan pelaku
kejahatan anak-anak, dan segera meminta maaf terhadap pembuatan dan penyiaran
berita yang tidak akurat atau keliru.
4.
Asas Supremasi Hukum
Dalam hal ini, wartawan bukanlah profesi yang kebal dari hukum yang berlaku.
Untuk itu, wartawan dituntut untuk patuh dan tunduk kepada hukum yang berlaku.
Dalam memberitakan sesuatu wartawan juga diwajibkan menghormati asas praduga
tak bersalah.
Kemerdekaan berpendapat, berekspresi, dan pers adalah hak asasi manusia yang
dilindungi Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia PBB. Kemerdekaan pers adalah sarana masyarakat untuk memperoleh
informasi dan berkomunikasi, guna memenuhi kebutuhan hakiki dan meningkatkan
kualitas kehidupan manusia. Dalam mewujudkan kemerdekaan pers itu, wartawan
Indonesia juga menyadari adanya kepentingan bangsa, tanggung jawab sosial,
keberagaman masyarakat, dan norma-norma agama.
Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers menghormati hak
asasi setiap orang, karena itu pers dituntut profesional dan terbuka untuk
dikontrol oleh masyarakat.
Untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk memperoleh
informasi yang benar, wartawan Indonesia memerlukan landasan moral dan etika
profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan
menegakkan integritas serta profesionalisme. Atas dasar itu, wartawan Indonesia
menetapkan dan menaati Kode Etik Jurnalistik:
KODE ETIK JURNALISTIK (KEJ)
Pasal 1
Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang,
dan tidak beritikad buruk.
Penafsiran
a. Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara
hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain
termasuk pemilik perusahaan pers.
b. Akurat berarti dipercaya benar sesuai keadaan objektif ketika peristiwa
terjadi.
c. Berimbang berarti semua pihak mendapat kesempatan setara.
d. Tidak beritikad buruk berarti tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata
untuk menimbulkan kerugian pihak lain.
Pasal 2
Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas
jurnalistik.
Penafsiran
Cara-cara yang profesional adalah:
a. menunjukkan identitas diri kepada narasumber;
b. menghormati hak privasi;
c. tidak menyuap;
d. menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya;
e. rekayasa pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar, foto, suara
dilengkapi dengan keterangan tentang sumber dan ditampilkan secara berimbang;
f. menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, suara;
g. tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain
sebagai karya sendiri;
h. penggunaan cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita
investigasi bagi kepentingan publik.
Pasal 3
Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang,
tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas
praduga tak bersalah.
Penafsiran
a. Menguji informasi berarti melakukan check and recheck tentang kebenaran
informasi itu.
b. Berimbang adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada
masing-masing pihak secara proporsional.
c. Opini yang menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan. Hal ini berbeda
dengan opini interpretatif, yaitu pendapat yang berupa interpretasi wartawan
atas fakta.
d. Asas praduga tak bersalah adalah prinsip tidak menghakimi seseorang.
Pasal 4
Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.
Penafsiran
a. Bohong berarti sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya oleh wartawan sebagai
hal yang tidak sesuai dengan fakta yang terjadi.
b. Fitnah berarti tuduhan tanpa dasar yang dilakukan secara sengaja dengan niat
buruk.
c. Sadis berarti kejam dan tidak mengenal belas kasihan.
d. Cabul berarti penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar,
suara, grafis atau tulisan yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi.
e. Dalam penyiaran gambar dan suara dari arsip, wartawan mencantumkan waktu
pengambilan gambar dan suara.
Pasal 5
Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan
susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.
Penafsiran
a. Identitas adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang
yang memudahkan orang lain untuk melacak.
b. Anak adalah seorang yang berusia kurang dari 16 tahun dan belum menikah.
Pasal 6
Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.
Penafsiran
a. Menyalahgunakan profesi adalah segala tindakan yang mengambil keuntungan
pribadi atas informasi yang diperoleh saat bertugas sebelum informasi
tersebut menjadi pengetahuan umum.
b. Suap adalah segala pemberian dalam bentuk uang, benda atau fasilitas dari
pihak lain yang mempengaruhi independensi.
Pasal 7
Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak
bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan
embargo, informasi latar belakang, dan “off the record” sesuai dengan
kesepakatan.
Penafsiran
a. Hak tolak adalak hak untuk tidak mengungkapkan identitas dan keberadaan
narasumber demi keamanan narasumber dan keluarganya.
b. Embargo adalah penundaan pemuatan atau penyiaran berita sesuai dengan
permintaan narasumber.
c. Informasi latar belakang adalah segala informasi atau data dari narasumber
yang disiarkan atau diberitakan tanpa menyebutkan narasumbernya.
d. “Off the record” adalah segala informasi atau data dari narasumber yang
tidak boleh disiarkan atau diberitakan.
Pasal 8
Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka
atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna
kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang
lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.
Penafsiran
a. Prasangka adalah anggapan yang kurang baik mengenai sesuatu sebelum
mengetahui secara jelas.
b. Diskriminasi adalah pembedaan perlakuan.
Pasal 9
Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya,
kecuali untuk kepentingan publik.
Penafsiran
a. Menghormati hak narasumber adalah sikap menahan diri dan berhati-hati.
b. Kehidupan pribadi adalah segala segi kehidupan seseorang dan keluarganya
selain yang terkait dengan kepentingan publik.
Pasal 10
Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru
dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan
atau pemirsa.
Penafsiran
a. Segera berarti tindakan dalam waktu secepat mungkin, baik karena ada maupun
tidak ada teguran dari pihak luar.
b. Permintaan maaf disampaikan apabila kesalahan terkait dengan substansi
pokok.
Pasal 11
Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.
Penafsiran
a. Hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan
tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama
baiknya.
b. Hak koreksi adalah hak setiap orang untuk membetulkan kekeliruan informasi
yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.
c. Proporsional berarti setara dengan bagian berita yang perlu diperbaiki.
Penilaian akhir atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan Dewan Pers.
Sanksi atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan oleh
organisasi wartawan dan atau perusahaan pers.
Sumber : http://www.lpds.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=40:kode-etik-jurnalistik&catid=30:kode-etik-jurnalistik&Itemid=32
https://id.wikipedia.org/wiki/Kode_etik_jurnalistik