KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA


KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA A. LATAR BELAKANG Putusan Mahkamah Konstitusi sering mengagetkan banyak orang. Walaupun lembaga ini masih baru, kurang dari 5 tahun, banyak putusannya yang dapat dikatakan sangat berani dan menimbulkan perdebatan bagi kalangan ahli hukum serta para politisi. Beberapa putusannya yang menimbulkan perdebatan pro dan kontraantara lain mengenai dihapuskannya larangan hak pilih bagi eks anggota Gerakan 30 S/PKI, menyatakan tidak mempnuanyai kekuatan hukum mengikat secara keseluruhan undang-undang ketenagalistrikan, menyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat ketentuan pasal 50 UU 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) yang berarti memperluas kewenangan MK sendiri, menyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat beberapa pasal UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dan masih banyak lagi yang lainnya. Terakhir, yang menghebohkan adalah surat Ketua Mahkamah Konstitusi kepada Presiden yang berisi “mengingatkan” Presiden bahwa dalam penerbitan Kepres 55 Tahun 2005 tentang Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak Dalam Negeri, seharusnya memperhatikan Putusan Mahkamah Konstitusi RI tanggal 21 Desember 2004 (Tambahan Berita Negara Republik Indonesia No. 1 tahun 2005 tanggal 4 Januari 2005), yang telah menyatakan beberapa pasal undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Perkembangan terakhir ini telah menimbulkan perdebatan tentang posisi MK dalam format ketatanegaraan RI. Bagaimana mungkin sembilan hakim konstitusi dapat menggugurkan putusan berupa produk undang-undang yang telah diputuskan oleh 550 orang anggota DPR bersama Presiden. Persoalan yang lebih jauh lagi, dengan suratnya kepada Presiden tersebut, MK seakan-akan hendak mengawasi dan “mengeksekusi” sendiri pelaksanaan putusannya agar dihormati. Tulisan ini hendak menganalisis posisi MK dalam format ketatanegaraan RI, khususnya dalam hubungan dengan lembaga-lembaga negara lainnya serta impelementasi pelaksanaan berbagai putusannya. B. PEMBAHASAN Konsep Dasar dan Perkembangan Mahkamah Konstitusi Pembentukan mahkamah konstitusi sebagai lembaga yang tersendiri karena kebutuhan adanya suatu pengadilan yang secara khusus melakukan pengujian terhadap produk undang-undang (dalam istilah Hans Kelsen, statute and customary law) yang bertentangan dengan konstitusi (undang-undang dasar). Ide ini, bermula dari Prof. Hans Kelsen, guru besar kenamaan dari Universitas Wina (Vienna) yang mengusulkan dibentuknya suatu lembaga yang diberi nama ‘Verfassungsgerichtshoft’ atau Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court). Gagasan Kelsen ini, kemudian diterima dengan bulat dan diadopsikan ke dalam naskah Undang-undang Dasar Tahun 1920 yang disahkan dalam Konvensi Konstitusi pada tanggal 1 Oktober 1920 sebagai Konstitusi Federal Austria. Menurut Hans Kelsen kemungkinan muncul persoalan konflik antara norma yang lebih tinggi dengan yang lebih rendah, bukan saja berkaitan antara undang-undang (statute) dan putusan pengadilan, tetapi juga berkaitan dengan hubungan antara konstitusi dan undang-undang. Ini adalah problem inkonstitusionalitas dari undang-undang. Suatu undang-undang (statute) hanya berlaku dan dapat diberlakukan jika sesuai dengan konstitusi, dan tidak berlaku jika bertentangan dengan konstitusi. Suatu undang-undang hanya sah jika dibuat berdasarkan ketentuan-ketentuan konstitusi. Karena itu diperlukan suatu badan atau pengadilan yang secara khusus untuk menyatakan inkonstitusionalitas dari suatu undang-undang yang sedang berlaku. Lebih lanjut Hans Kelsen menyatakan: “There may be a special organ established for this purpose, for instance, a special court, as so-called “constitutional court” or the control of the constituionality of statutes, the so called “judicial review” may be conferred upon the ordinary court, and especially upon the supreme court.” Menurut Kelsen, suatu undang-undang yang telah dinyatakan tidak berlaku oleh mahkamah konstitusi tidak dapat diterapkan oleh lembaga-lembaga yang lain. Jika pengadilan biasa berwenang untuk menilai konstitusionalitas dari suatu undang-undang hanya berhak menolak untuk menerapkannya atau mengesampingkannya dalam kasus-kasus konkrit yang diputuskan, tetapi organ yang lainnya tetap berkewajiban menerapkan undang-undang itu. Sepanjang suatu undang-undang tidak dinyatakan tidak berlaku, adalah tetap “constitutional” dan tidak “unconstitutional”, walaupun rasanya undang-undang itu bertentangan dengan konstitusi. Dengan demikian, suatu undang-undang dapat dinyatakan tidak berlaku oleh pembentuk undang-undang yaitu legislatif dan juga dapat dinyatakan tidak berlaku oleh mahkamah konstitusi. Pemikiran Hans Kelsen ini tidak lepas pelaksanaan teori hukum murni dan teori hiraki norma yang sangat terkenal yang dikemukakannya dimana konstitusi ditempatkan sebagai norma hukum yang superior dari undang-undang biasa. Jadi pada awalnya mahkamah konstitusi merupakan suatu lembaga yang dimaksudkan hanya untuk menguji konstitusionalitas (constitutional review) dari suatu undang-undang terhadap konstitusi. Karena itu mahkamah konstitusi sering disebut sebagai “the guardian of the constitution” (pengawal konstitusi). Dengan kewenangannya yang dapat menyatakan inkonstitusionalitas dari suatu undang-undang, posisi mahkamah konstitusi berada ada di atas lembaga pembentuk undang-undang. Itulah sebabnya sejak awal Hans Kelsen telah menyatakan sebagaimana telah ditulis di awal tulisan ini bahwa lembaga ini dibentuk dengan kekuasaan yang berada di atas legislatif dan mestinya secara politik tidak dikehendaki, khususnya jika memutuskan bahwa suatu undang-undang adalah inkonstitusional. Karena itu bagi negara-negara yang menempatkan superioritas parlemen yang cukup besar karena dianggap cerminan kedaultan rakyat, tidak menempatkan mahkamah konstitusi dalam posisi di atas pembentuk undang-undang, seperti Dewan Konstitusi Perancis yang hanya berwenang menguji konstitusionalitas dari suatu rancangan undang-undang yang telah dibahas oleh parlemen tetapi belum diberlakukan. Bahkan Kerajaan Inggeris dan Kerajaan Belanda tidak membentuk Mahkamah Konstitusi, dengan prinsip bahwa parlemenlah satu-satunya lembaga yang membentuk serta mengetahui sah tidaknya suatu undang-undang. Dalam perkembangannya, konsep dasar pembentukan mahkamah konstitusi di berbagai negara sangat terkait dengan perkembangan prinsip-prinsip dan teori ketatanegaraan modern yang dianut oleh berbagai negara yang menganut prinsip konstitusionalisme, prinsip negara hukum, prinsip check and balances, prinsip demokrasi dan jaminan perlindungan hak asasi manusia prinsip peradilan yang bebas dan tidak memihak serta pengalaman politik dari masing-masing negara. Keberadaan mahkamah konstitusi dibutuhkan dalam menegakkan prinsip-prinsip tersebut. Konstitusionalisme merupakan paham yang berprinsip bahwa pelaksanaan kekuasaan negara oleh organ-organ negara harus berdasarkan ketentuan-ketentuan konstitusi. Pelanggaran terhadap konstitusi tidak dapat ditolerir karena akan menimbulkan kekuasaan yang tiran dan semena-mena. Karena itu prinsip konstitusonalisme juga terkait dengan prinsip pemisahan dan pembatasan kekuasaan (check and balances),yaitu kekuasaan lembaga-lembaga negara dibagi secara seimbang. Kekuasaan negara tidak boleh bertumpu pada satu lembaga negara karena akan dapat menimbulkan penyelahgunaan kekuasaan negara. Dalam mengawasi pelaksanaan kekuasaan lembaga-lembaga negara tersebut, agar tetap sesuai dengan kehendak rakyat diperlukan prinsip demokrasi dan penghormatan atas hak asasi mansuia. Artinya, karena kekuasaan negara bersumber dari rakyat maka akan selalu dapat dikontrol oleh rakyat dan selalu mengormati hak-hak dasar rakyat. Alat ukur bagi rakyat untuk mengawasi penyelenggaraan kekuasaan negara oleh lembaga negara adalah hukum dan konstitusi. Disnilah prinsip negara hukum dan rule of law menjadi penting. Untuk menilai secara obyektif dan independen apakah suatu tindakan negara (lembaga-lembaga negara) melanggar konstitusi atau hukum, dibutuhkan suatu lembaga yang mengadili dan memutuskannya yang dijamin oleh konstitusi. Di sinilah konsep dasar dibutuhkannya mahkamah konstitusi yang berkembang sekarang ini. Putusan pembentuk undang-undang yang berupa undang-undang (di Indonesia adalah DPR dan Presiden), dapat saja bertentangan dengan ketentuan konstitusi, karena lembaga DPR dan Presiden adalah lembaga politik, baik karena kekeliruan dalam mengimplementasikan ketentuan konstitusi (undang-undang dasar) maupun karena kesengajaan untuk membentuk undang-undang bagi kepentingan melanggengkan kekuasaan politik, dapat diminta untuk ditinjau kembali dan diuji oleh mahkamah konstitusi apakah sesuai atau bertentangan dengan konstitusi. Jika bertentangan dengan konstitusi, undang-undang tersebut dapat duinayatakan tidak mempunyai kekuatan mengikat secara hukum oleh mahkamah konstitusi. Demikian juga halnya yang berkembang dari prinsip pembagian kekuasaan antar lembaga negara yang mungkin timbul sengketa perebutan kewenangan antar lembaga negara, ditbutuhkan suatu mahkamah yang independen untuk mengadili dan memutuskannya yang sengaja diberi kewenangan oleh konstitusi untuk itu. Karena itu di negara-negara yang tradisi kehidupan konstitusionalisme dan perlindungan hak asasi mansuianya masih baru, keberadaan mahkamah konstitusi mejadi daya tarik yang sangat luar biasa. Seperti dikemukakan oleh Jimliy Asshiddiqy, hampir semua negara-negara demokrasi baru di Amerika Tengah dan Amerika Selatan dan terakhir eks negara-negara komunis di Eropa Timur mengadopsi pembentukan mahkamah konstitusi. Walaupun demikian, di berbagai negara mahkamah konstitusi bukanlah satu-satunya lembaga yang diberi kewenangan menyatakan inkonstituisionalitas dari suatu undang-undang atau memutus masalah kostitusional lainnya. Di banyak negara lainnya pengujian konstitusionalitas dari suatu undang-undang menjadi kewenangan mahkamah agung seperti Amerika Serikat yang telah memulai sejak tahun 1803 dalam kasus Marbury vs Madison. Bahkan di banyak negara lainnya tidak dikenal pengujian undang-undang baik oleh mahkmah konstitusi maupun oleh mahkamah agung seperti antara lain yang dianut oleh Kerajaan Belanda dan Kerajaan Inggeris. Setelah dibentuk pertama kali berdasarkan Konstitusi Wina tahun 1920 mahkamah konstitusi terus diadopsi oleh berbagai negara. Sekarang mahkamah konstitusi telah ada di 78 negara termasuk Indonesia. Namun demikian kewenangan mahkamah konstitusi juga meluas yang tidak saja hanya untuk menguji konstitusionalitas undang-undang terhadap undang-undang dasar seperti dikonsepsikan oleh Hans Kelsen – walaupun fungsi utama dari mahkamah konstitusi yang selalu sama di setiap negara adalah menguji konstitusionalitas undang-undang terhadap undang-undang dasar – tetapi juga memiliki kewenangan-kewenangan lainnya yang berhubungan dengan lingkup hukum ketatanegaraan, seperti memutus sengketa pemilu, sengketa kewenangan antar lembaga negara, pembubaran partai politik, pemberhentian presiden, memutus konstitusionalitas dari seluruh peraturan perundang-undangan, serta mengadili constitutional complaint dari warga negara. Putusan mahkamah konstitusi dalam menjalankan berbagai kewenangannya tersebut bersifat final. Atinya sekali mahkamah konstitusi memutuskan suatu persoalan yang diajukan kepadanya dalam lingkup kewenangannya dan tidak ada upaya hukum lain untuk melawannya. Sebagai contoh Mahakamh Konstitusi Austria yang dibentuk sejak tahun 1920, memiliki 9 kewenangan, yaitu : - pengujian konstitusionalitas undang-undang, - pengujian legalitas peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, - pengujian perjanjian internasional, - perselisihan pemilihan umum, - peradilan impeachment, - Kewenangan sebagai peradilan administrasi khusus yang terkait dengan constitutional complaint individu warga negara, - Sengketa kewenangan dan pendapatan keuangan antar negara bagian dan antara negara bagian dengan federal, - Sengketa kewenangan antar lembaga negara, dan - Kewenangan memberikan penafsiran undang-undang dasar. Mahkamah Konstitusi RI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pemikiran mengenai pentingnya suatu mahkamah konstitusi telah muncul dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia sebelum merdeka. Pada saat pembahasan rancangan UUD di Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), anggota BPUPKI Prof. Muhammad Yamin telah mengemukakan pendapat bahwa Mahkamah Agung (MA) perlu diberi kewenangan untuk membanding undang-undang. Namun ide ini ditolok oleh Prof. Soepomo berdasarkan dua alasan, pertama, UUD yang sedang disusun pada saat itu (yang kemudian menjadi UUD 1945) tidak menganut paham trias politika. Kedua, pada saat itu jumlah sarjana hukum kita belum banyak dan belum memiliki pengalaman mengenai hal ini. Ide pembentukan Mahkamah konstitusi pada era reformasi, mulai dikemukakan pada masa sidang kedua Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR RI (PAH I BP MPR), yaitu setelah seluruh anggota Badan Pekerja MPR RI melakukan studi banding di 21 negara mengenai konstitusi pada bulan Maret-April tahun 2000. Ide ini belum muncul pada saat perubahan pertama UUD 1945, bahkan belum ada satu pun fraksi di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang mengajukan usul itu. Nampaknya para anggota MPR sangat terpengaruh atas temuannya dalam studi banding tersebut. Walaupun demikian pada Sidang Tahunan MPR bulan Agustus tahun 2000, rancangan rumusan mengenai mahkamah konstitusi masih berupa beberapa alternatif dan belum final. Sesuai rancangan tersebut, mahkamah konstitusi di tempatkan dalam lingkungan mahkamah agung, dengan kewenangan untuk melakukan uji materil atas undang-undang; memberikan putusan atas pertentangan antar undang-undang; serta kewenangan lainnya yang diberikan undang-undang. Ada usulan alternatif, agar di luar kewenangan tersebut mahkamah konstitusi juga diberi kewenangan untuk memberikan putusan atas persengketaan kewenangan antarlembaga negara, antar pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dan antar pemerintah daerah. Setelah dibahas kembali pada masa sidang PAH I BP MPR RI tahun 2000/2001, yaitu dalam rangka persiapan draft perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Negara repbulik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) untuk disahkan pada sidang tahunan 2001, terjadi banyak perubahan mengenai rumusan tentang mahkamah konstitusi. Persoalan pokok yang pertama adalah apakah mahkamah konstitusi ditempatkan di lingkungan mahkamah agung atau ditempatkan terpisah dari lingkungan mahkamah agung tetapi masih dalam rumpun kekuasaan kehakiman, dan persoalan kedua apa saja yang menjadi kewenangan mahkamah konstitusi. Pertama, disepakati bahwa mahkamah konstitusi ditempatkan terpisah dan di luar lingkungan mahkamah agung akan tetapi tetap dalam lingkungan kekuasaan kehakiman, dengan pertimbangan bahwa lembaga ini adalah lembaga yang sangat penting untuk membangun negara yang berdasar sistem konstitusionalisme, sehingga lembaga ini berdiri sejajar dengan lembaga-lembaga negara lainnya yang secara tegas ditentukan kedudukan dan kewenangannya dalam undang-undang dasar. Terdapat kekhawatiran bahwa mahkamah agung tidak akan mampu membawa misi besar mahkamah konstitusi untuk membangun sistem konstitusionalisme karena pekerjaan mahkamah agung yang pada saat itu tidak mampu menyelesaikan perkara-perkara kasasi dan peninjauan kembali yang menumpuk. Jika ditambah lagi dengan tugas-tugas mahkamah konstitusi dikhawatirkan pekerjaan mahkamah agung akan terbengkalai. Pada sisi lain dibutuhkan satu mahkamah tersendiri yang berdiri sejajar dengan mahkamah agung dan lembaga-lembaga negara lainnya untuk menjalankan tugas mengawal sistem konstitusionalisme Indonesia. Dengan demikian posisi mahkamah konstitusi dalam ketatanegaraan Indonesia menjadi kuat. Kedua, kewenangan mahkamah konstitusi disepakati untuk ditentukan secara limitatif dalam undang-undang dasar. Kesepakatan ini mengandung makna penting, karena mahkamah konstitusi akan menilai konstitusionalitas dari suatu undang-undang atau sengketa antar lembaga negara yang kewenangannya ditentukan dalam undang-undang dasar, karena itu sumber kewenangan mahkamah konstitusi harus langsung dari undang-undang dasar. Dengan demikian tidak ada ada satu lembaga negara yang dapat mempermasalahkan atau menggugurkan putusan mahkamah konstitusi. Pada sisi lain mahkamah konstitusi sebagai lembaga negara pengawal konstitusi tidak melakukan tindakan atau memberikan putusan yang keluar dari kewenangannya yang secara limitatif ditentukan dalam undang-undang dasar. Demikian juga halnya pembentuk undang-undang tidak dapat mengurangi kewenangan mahkamah konstitusi melalui ketentuan undang-undang sehingga melumpuhkan ide dasar pembentukan mahkamah konstitusi. Dengan prinsip inilah dihapus kesepakatan awal yang memungkinkan adanya kewenangan lain mahkamah konstitusi yang ditentukan undang-undang sebagaiman draft awal PAH I BP MPR RI tahun 2000. Menurut UUD 1945, Mahkamah Konstitusi RI, memiliki 4 kewenangan, yaitu : - menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar, - memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan undang-undang dasar; - memutus pembubaran partai politik; - memutus perselisihan tentang hasil pemlihan umum. Disamping itu dalam rangka proses pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden, atas permintaan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Mahkamah Konstitusi RI berkewajiban untuk memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atu Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Pembentukan mahkamah konstitusi diperlukan untuk menegakkan prinsip negara hukum Indonesia dan prinsip konstitusionalisme. Artinya tidak boleh ada undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya yang bertentangan dengan undang-undang dasar sebagai puncak dari tata urutan perundang-undangan di Indonesia. Dalam rangka pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar dibutuhkan sebuah mahkamah dalam rangka menjaga prinsip konstitusionalitas hukum. Tugas mahkamah konstitusilah yang menjaga konstitusionalitas hukum itu. Pembentukan mahkmah konstitusi juga terkait dengan penataan kembali dan reposisioning lembaga-lembaga negara yang sebelum perubahan UUD 1945 berlandaskan pada supremasi MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Perubahan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang sebelum perubahan berbunyi “Kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”, diubah menjadi “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar”, telah membawa implikasi yang sangat luas dan mendasar dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Artinya, sebelum perubahan, kedaulatan rakyat berpuncak pada MPR, dan MPR-lah sebagai penyelesaian final atas setiap masalah ketatanegaraan yang muncul baik atas konstitusionalitas dari suatu undang-undang maupun penyelesaian akhir sengketa antar lembaga negara. Dengan dasar konsepsional inilah ketetapan MPR RI No. III Tahun 2000 menentukan bahwa pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar dilakukan oleh MPR dan setiap lembaga negara melaporkan penyelenggaraan kinerjanya kepada MPR setiap tahun. Implikasi perubahan Pasal 1 ayat (2) tersebut, posisi MPR sejajar dengan lembaga-lembaga negara lainnya dan masing-masing lembaga negara adalah pelaksana kedaulatan rakyat sesuai tugas dan kewenangannya yang ditentukan undang-undang dasar. Dengan demikian MPR melaksanakan kedaulatan rakyat untuk mengubah dan menetapkan undang-undang dasar, melantik presiden dan wakil presiden, memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden sesuai ketentuan undang-undang dasar, serta dalam hal-hal tertentu mengangkat presiden dan/atau wakil presiden. Mahkamah konstitusi merupakan pelaksana kedaulatan rakyat untuk menguji konstitusionalitas undang-undang terhadap undang-undang dasar, memutus sengketa kewenangan antara lembaga negara yang kewenangannya diatur dalam undang-undang dasar, memutus sengketa pemilihan umum serta memutus pembubaran partai politik. Demikian juga lembaga negara yang lainnya adalah pelaksana kedaulatan rakyat sesuai tugas dan wewenangnya yang ditentukan dalam undang-undang dasar. Kewenangan mahkamah konstitusi yang dapat menyatakan tidak mempunyai kekuatan atas suatu undang-undang produk legislatif produk DPR dan Presiden serta memutuskan sengketa antar lembaga negara, menunjukkan posisinya yang lebih tinggi dari lembaga-lembaga negara lainnya. Hal ini wajar saja karena Undang-Undang Dasar memberikan otoritas kepada Mahkamah Konstitusi sebagai penafsir paling absah dan authentik terhadap konstitusi. Walaupun demikian, pendapat dan penafsiran hukum mahkamah konstitusi yang dapat diterima penafsiran yang dikeluarkan melalui putusannya atas permohonan yang diajukan kepadanya sesuai lingkup kewenangannya untuk mengadili dan memutus suatu perkara. Dengan posisi yang demikian penting itu undang-undang dasar menetapkan kwalifikasi yang sangat ketat bagi anggota mahkamah konstitusi, antara lain memiliki integiritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan. Sembilan orang anggota mahkamah konstitusi juga merepresentasikan tiga unsur lembaga negara yaitu masing-masing-masing 3 orang anggota yang diajukan oleh presiden, DPR dan mahkamah agung. Hubungan Mahkamah Konstitusi dengan Lembaga Negara Lainnya 1. Hubungan Mahkamah Konstitusi dengan Presiden Dalam UUD 1945 hanya ada dua aspek yang secara eksplisit menunjukkan hubungan antara Mahkamah Konstitusi denga Presiden yaitu pada proses pemberhentian presiden dan pada penunjukkan dan penetapan hakim konstitusi. Dalam proses pemberhentian presiden posisi mahkamah konstitusi bersifat pasif, yaitu hanya menunggu pengajuan permintaan pendapat (pendapat hukum) dari DPR, tentang tindakan presiden yang dianggap telah melakukan pelanggaran hukum yang berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela, maupun dianggap telah tidak memenuhi syarat sebagai presiden, sebagai syarat untuk dapat mengusulkan pemberhentian presiden kepada MPR. Jika mahkamah konstisui memutuskan bahwa ternyata dari sisi hukum pendapat DPR memiki dasar hukum dan konstitusi sehingga mahkamah konstitusi mengabulkan pendapat DPR, maka DPR dapat mengajukan pengusulan pemberhentian presiden kepada MPR. Sebaliknya jika mahkamah konstitusi tidak membenarkan atau menolak pendapat DPR, maka proses pengusulan pemberhentian itu dihentikan. Disamping itu, 3 dari 9 orang hakim konstitusi diajukan atau ditunjuk oleh Presiden yang menunjukkan adanya representasi lembaga presiden dalam kompisisi anggota mahkamah konstitusi. Tetapi dalam melaksanbakan tugasnya hakim konstitusi yang berasal dari lembaga manapun berkerja secara independen, dan tidak terpengaruh pada pendapat atau pandangan dari lembaga negara yang mengajukannya. Presiden sebagai kepala negara menetapkan pengangkatan para hakim konstitusi yang telah diajukan oleh masing-masing lembaga negara dan mengucapkan sumpah di hadapan presiden. Secara implisit banyak hubungan lainnya yang terbangun antara presiden dengan mahkamah konstitusi terutama terkait dengan posisi presiden sebagai kepala pemerintahan dan penyelenggara administrasi negara. Mahkamah konstitusi akan selalu membutuhkan bantuan pelayanan administrasi dari presiden selaku penyelenggara administrasi negara serta dukungan anggaran dan keuangan serta fasilitas bagi penyelenggaraan tugas dan fungsi mahkamah konstitusi yang ditetapkan oleh presiden bersama dengan DPR. 2. Hubungan Mahkamah Konstitusi dengan DPR Selain dalam hubungannya dengan penunjukkan 3 orang hakim konstitusi yang diajukan atau ditunjuk oleh DPR, secara eksplisit hubungan antara mahkamah konstitusi dengan DPR hanya terkait dengan proses pemberhentian presiden sebagaimana telah diuraikan pada bagian sebelumnya. 3. Hubungan Mahkamah Konstitusi dengan Mahkamah Agung Mahkamah konstitusi dan mahkamah agung sama-sama berada dalam lingkungan kekuasaan kehakiman yang merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, kedua lembaga tersebut harus menghormati prinsip-prinsip yang dianut dalam proses peradilan dan prinsip negara hukum. Walaupun mahkamah agung tidak berwenang untuk menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar bukan berarti dalam memutuskan suatu perkara yang diajukan kepadanya, mahkamah agung tidak berwenang untuk menilai suatu undang-undang bertentangan dengan konstitusi. Dalam menghadapi kasus-kasus konkrit, mahkamah agung dalam rangka menegakkan keadilan dan yang adil (just law) dapat mengesampingkan ketentuan undang-undang yang bertentangan dengan undang-undang dasar. Akan tetapi mahkamah agung tidak dapat menyatakan bahwa ketentuan undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat karena hal itu adalah kewenangan ekslusif dari mahkamah konstitusi. Artinya ketentuan undang-undang tetap berlaku dan tetap dapat diterapkan oleh lembaga manapun dalam kasus-kasus lain, sepanjang tidak dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh mahkamah konstitusi. Mahkamah konstitusi dengan kewenangannya dapat melakukan pengujian dan menyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat atas ketentuan undang-undang yang dijadikan dasar oleh mahkamah agung dalam memutus suatu perkara kasuistis. Akan tetapi mahkamah konstitusi tidak dapat membatalkan putusan mahkamah agung, karena bukan kewenangannya sebagaimana ditentukan undang-undang dasar. 4. Hubungan Mahkamah Konstitusi dengan lembaga Negara yang Lainnya Mehkamah konstitusi merupakan tempat bagi lembaga-lembaga negara lainnya untuk mengadu dan meminta keputusan mengenai lembaga negara yang mana yang memiliki landasan konstitusionalitas wewenang yang benar jika terjadi sengketa kewenangan antar lembaga negara. Sengketa kewenangan bisa terjadi antara DPR dengan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), antara presiden dengan DPR atau antara Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dengan presiden dan lain-lain. Hal yang masih menjadi soal yang sering dipertanyakan adalah bagimana memutuskannya jika terjadi sengketa kewenangan antara mahkamah konstitusi dengan lembaga negara yang lainnya. Siapa yang harus memutuskan. Secara teori tidak mungkin mahkamah konstitusi yang akan memutuskan sengketa demikian karena akan terjadi conflict of interest, sama halnya dengan seorang hakim yang dilarang untuk memeriksa dan mengadili perkaranya sendiri. Walaupun pada saat perumusan perubahan UUD 1945 di PAH I BP MPR dan pembahasan RUU tentang Mahkamah Konstitusi di DPR masalah ini dibicarakan tetapi tidak ada suatu solusi yang diberikan, kecuali menyerahkan pada praktek ketatanegaraan. Mahkamah konstitusi diharapkan bijak untuk tidak bersengketa kewenangan dengan lembaga negara lainnya atau mengambil kewenangan lembaga negara yang lain. Disnilah kewibawaan mahkamah konstitusi ditunjukkan agar dihormati dalam praktek kenegaraan. Pelakasanaan Putusan Mahkamah Konstitusi Mahkamah konstitusi pada dasarnya adalah sebuah mahkamah ketatanegaraan yang sesungguhnya adalah sebuah mahkamah politik. Seperti halnya peradilan tata usaha negara yang tidak ada upaya paksa dalam pelaksanaan putusannya kecuali diserahkan pada kepatuhan terhadap hukum dari lembaga atau pejabat negara yang dikenai putusan itu. Dalam kasus pelaksanaan putusan MPR yang telah memutuskan untuk memberhentikan Presiden Abdurrahman Wahid, orang berpikir bagaimana mengeksekusi putusan itu, karena Presiden Abdurrahman Wahid pada saat itu menyatakan tidak akan meninggalkan istana negara karena menganggap putusan MPR adalah tidak sah. Undang-undang dasar maupun undang-undang tidak menentukan bagaimana eksekusi pelaksanaan putusan lembaga MPR itu. Disnilah ciri khas putusan sebuah peradilan dan lembaga politik yang berbeda dengan peradilan pidana atau perdata yang dapat meminta bantuan alat negara untuk mengekesekusi secara paksa pelaksanaan suatu putusan peradilan. Karena itu saya sangat setuju dengan istilah “keadilan dan keadaban” yang dikemukan oleh Jimly Asshiddiqy, dalam memahami sila kedua dari Pancasila. Keadilan hanya akan dapat dipahami dengan baik dalam masyarakat yang beradab, dan sebaliknya masyarakat yang beradab pasti akan memahami dan menaati hukum dengan penuh kesadaran tanpa harus dipaksa. Kekuatan sebuah putusan mahkmah konstitusi terkandung dalam putusanya yang menghormati prinsip negara hukum, prinsip konstitusionalisme, keadilan serta kenegarawanan. Putusan demikian memiliki kekuatan politik untuk memperoleh dukungan dari rakyat pemegang kedaulatan. Hasil tindakan dari masalah tersebut 1) Posisi mahkmah konstitusi nampak lebih tinggi dibanding lembaga negara lainnya ketika memutus konstitusionalitas dari suatu ketentuan undang-undang. Walaupun demikian sesungguhnya dalam struktur ketatanegaran RI, posisi mahkamah konstitusi sejajar dengan lembaga negara yang lainnya dengan kewenangan yang secara limitatif diberikan undang-undang dasar. 2) Mahkamah konstitusi bersifat pasif, hanya memutus perkara yang diajukan kepadanya dan tidak dapat memberikan fatwa selain dalam hubungan dengan putusan perkara yang diajukan kepadanya sesuai kewenangan yang ditentukan undang-undang dasar. Pelaksanaan putusan mahkmah konstitusi berada ditangan lembaga negara yang dikenai atau terkait putusan itu. Referensi : http://hamdanzoelva.wordpress.com http://diary-mybustanoel.blogspot.com "makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas pendidikan pancasila / pengganti kuis yang sebelumnya."

0 comments:

Post a Comment

Copyright 2009 Atika. All rights reserved.
Free WPThemes presented by Leather luggage, Las Vegas Travel coded by EZwpthemes.
Bloggerized by Miss Dothy